Senin, 11 Januari 2016


TEORI ALFRED WEBER (Lokasi Optimum dan Aglomerasi Industri)

    Alfred Weber seorang ahli ekonomi Jerman menulis buku berjudul Uber den Standort der Industrien pada tahun 1909. Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1929 oleh C.J. Friedrich dengan judul Alfred Weber’s Theory of Location of Industries. Weber menganalisis lokasi kegiatan industri. Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Menurut Evers (1985), Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum oleh karena itu Asumsi teori weber adalah :
  1.  Masukan atau lokasi bahan baku terletak pada lokasi yang tetap
  2.  Pasar juga terletak pada lokasi yang tetap 
  3. Para produsen menghadapi persaingan murni dalam membeli semua masukan dan menjual keluaran-keluaran. 
  4. Terdapat jaringan transport yang sama. Dimana pada jaringan ini memungkinkan masukan dan keluaran dipindahkan di segala arah dengan tarip tetap per satuan jarak.
Menurut Weber, ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu :
 a. Biaya transportasi;
 b. Upah tenaga kerja;
 c. Dampak aglomerasi dan deaglomerasi.
Dimana faktor tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional yang bersifat umum sedangkan faktor deglomerasi dan aglomerasi yang bersifat lokal dan khusus.
     
    Teori Lokasi merupakan sebuah ilmu yang menyelidiki tata ruang kegiatan ekonomi. Selain itu, Teori Lokasi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang lokasi secara geografis, serta pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain. Tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu kegiatan produksi itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu industri (skala besar) secara komprehensif diperlukan gabungan dari berbagai pengetahuan dan disiplin. Berbagai faktor yang ikut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi, antara lain ketersediaan bahan baku, upah buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama aksesibilitas pemasaran ke luar negeri), stabilitas politik suatu negara, dan kebijakan daerah (peraturan daerah).
   Alfred Weber (1907 – 1933), memiliki teori yang  menyebutkan bahwa lokasi industri sebaiknya diletakkan di tempat yang memiliki biaya yang paling minimal. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.  Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum yang menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar.
   Menurut Weber, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu faktor tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional yang bersifat umum serta faktor deglomerasi/aglomerasi yang bersifat lokal dan khusus. Weber berbasis kepada beberapa asumsi utama, antara lain:
Lokasi bahan baku ada di tempat tertentu begitu pula dengan situasi dan ukuran tempat konsumsi, sehingga terdapat suatu persaingan sempurna
Ada beberapa tempat pekerja yang bersifat tak mudah bergerak
Dalam menyusun konsepnya, Weber melakukan penyederhanaan dengan membayangkan adanya bentang lahan yang homogen dan datar, serta mengesampingkan upah buruh dan jangkauan pasaran.
   Dengan menggunakan ketiga asumsi di atas, maka biaya transportasi akan tergantung dari dua hal, yaitu bobot barang dan jarak pengangkutan. Apabila yang menjadi dasar penentu bukan bobot melainkan volume, maka yang menentukan biaya pengangkutan adalah volume barang dan jarak pengangkutan. Pada prinsipnya, yang harus diketahui adalah unit yang merupakan hubungan fungsional dengan biaya serta jarak yang harus ditempuh dalam pengangkutan itu (memiliki tarif sama). Di sini dapat diasumsikan bahwa harga satuan angkutan sama, sehingga perbedaan biaya angkutan hanya disebabkan oleh perbedaan berat benda yang diangkut dan jarak yang ditempuh. 
Selain itu, Weber juga mengelompokkan industri menjadi dua, yaitu industri yang weight losing (industri yang hasil produksinya memiliki berat yang lebih ringan daripada bahan bakunya, misalnya industri kertas. Industri ini memiliki indeks material <> 1). Dengan indeks material > 1, maka biaya transportasi bahan baku menuju pabrik akan lebih mahal apabila dibandingkan dengan biaya transportasi produk jadi menuju pasaran (market). Oleh karena itu, lokasi pabrik seharusnya diletakkan di dekat sumber bahan baku (resources oriented). Sebaliknya, bagi industri yang berjenis weight gaining, maka lokasi industri lebih baik diletakkan di dekat pasar. Penggunaan kedua prinsip untuk menentukan lokasi industri di atas akan mengalami kesulitan apabila berat benda yang masuk ke dalam perhitungan tidak jauh berbeda.
  Pada intinya, lokasi akan optimal apabila pabrik berada di sentral, karena biaya transportasi dari manapun akan rendah. Biaya tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu transportasi bahan mentah yang didatangkan dari luar serta transportasi hasil produksi yang menuju ke pasaran.
Weber juga menjelaskan mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Gejala ini menarik industri dari lokasi biaya angkutan minimum, karena membawakan berbagai bentuk penghematan ekstern yang disebut Aglomeration Economies. Tentu saja perpindahan ini akan mengakibatkan kenaikan biaya angkutan, sehingga dilihat dari segi ini tidak lagi optimum. Oleh karena itu, industri tersebut baru akan pindah bila penghematan yang dibawa oleh Aglomeration Economies lebih besar daripada kenaikan biaya angkutan yang dibawakan kepindahan tersebut.
Perkembangan suatu kawasan (region) berasal dari satu titik, yaitu pusat kota yang dalam tahap selanjutya bersifat menyebar. Setiap perkembangan yang terjadi pada suatu kawasan, terutama dalam kaitannya dengan sektor industri, akan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya. Maka, dapat dikatakan pula bahwa perkembangan suatu kawasan mempunyai dampak terhadap perkembangan kota yang berada di sekitarnya.
Salah satu faktor yang juga mempengaruhi perkembangan kawasan industri tersebut adalah terdapatnya sarana transportasi yang memadai. Peranan sarana transportasi ini sangat penting bagi suatu kawasan untuk menyediakan aksesibilitas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan barang dan jasa, serta untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi. Semakin kecil biaya transportasi antara lokasi bahan baku menuju pabrik dan dari pabrik menuju pasaran (market), maka jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut bahan baku maupun hasil produksi juga akan semakin rendah.
   Dengan memperhitungkan berat bahan baku = w (S1) ton yang akan ditawarkan di pasar M, w (S1) dan w (S2) ton material yang berasal dari masing-masing S1 dan S2 yang diperlukan, masalahnya berada dalam mencari lokasi pabrik yang optimal P terletak di masing-masing jarak d (M), d (S1) dan d (S2). Beberapa metodologi dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah seperti menggambarkan sebuah analogi ke dalam sistem bobot dan pulleys (Varignon's solusi) atau menggunakan trigonometri. Cara lain yang biasanya dipilih oleh para ahli geografi adalah dengan SIG.
  Teori Lokasi Weber ini bisa menjelaskan dengan sangat baik mengenai indutri berat mulai revolusi industri sampai dengan pertengahan abad dua puluh. Bahwa kegiatan yang lebih banyak menggunakan bahan baku cenderung untuk mencari lokasi dekat dengan lokasi bahan baku, seperti pabrik alumunium lokasinya harus  dekat lokasi tambang dan dekat dengan sumber energi (listrik). Kegiatan yang menggunakan bahan baku yang mudah ditemukan dimana saja seperti air, cenderung dekat dengan lokasi pasar. Untuk menilai masalah ini, Weber mengembangkan material index  yang diperoleh dari berat input dibagi berat dari produk akhir (output). Jika material indexnya lebih dari 1 maka lokasi cenderung kearah dekat dengan bahan baku, jika kurang dari 1 maka penentuan lokasi industri cenderung  mendekati pasar.
Industri primer adalah Industri yang menghasilkan barang-barang tanpa pengolahan lebih lanjut sehingga bentuk dari bahan baku/mentah masih tampak.Contohnya : industri pengasinan ikan, penggilingan padi, anyaman.  Jadi industri primer ini aktivitasnya lebih banyak menggunakan bahan baku,  sehingga menurut teori webber lokasi industrinya yang tepat adalah dekat dengan bahan baku.
  Dan jika dihitung berdasarkan teori material indexnya weber misal : industri pengasinan ikan, berat input (ikan segar) lebih berat dari berat ikan asin jadi material idexnya lebih dari 1,  maka menurut webber untuk menghemat biaya transportasi dan untuk mendapatkan keuntungan maksimal maka lokasi industrinya yang tepat adalah yang dekat dengan bahan baku.

   Contoh study kasus yaitu pada industri penggilingan padi di Kabupaten Lamongan. Pada teori Weber dijelas ada dua fakto yang menjadi faktor utama penentuan lokasi sebuah industri, yaitu biaya transportasi dan ketenagakerjaan. Pada biaya transportasi kemudian dibreak-down kembali menjadi dua kasus yaitu kasus yang berorientasi pada bahan baku dan kasus yang berorientasi pada pasar.  
     Pada studi kasus penggilingan padi di Kabupaten Lamongan, seperti yang telah dijelaskan di atas, lokasi bahan mentah berjauhan dengan lokasi industri penggilingan. Sehingga teori Weber pada faktor biaya transportasi, weight losing case, dapat dibantahkan. Karena pada kenyataannya industri penggilingan padi di Kabupaten Lamongan dapat berproduksi tanpa memperhitungkan jarak antar bahan baku dengan lokasi industri. Bahkan kondisi ini tidak membuat pihak perusahaan industri penggilingan padi merugi akibat biaya trasnportasi yang dikeluarkan untuk memindahkan barang mentah ke lokasi industri.
    Pada weight gaining case dalam teori Weber juga dapat dibantahkan karena lokasi industri penggilingan padi di Kabupaten Lamongan tidak didistribusikan ke pasar-pasar jarak dekat. Pada pendahuluan telah dijelaskan bahwa bahan jadi yang diproduksi di kawasan industri penggilingan padi Kabupaten Lamongan di distribusikan bukan hanya ke wilayah Lamongan saja, namun ke wilayah lain bahkan dipasok skala besar dengan cakupan nasional. Sehingga biaya transportasi untuk memindahakan barang jadi ke pasar-pasar tidak dipertimbangkan. 
    Satu-satunya faktor yang dipertimbangkan dan diimplikasikan dari teori Weber pada studi kasus ini adalah faktor ketenagakerjaan, dimana ketenagakerjaan pada industri penggilingan padi di Kabupaten Lamongan sangat penting. Pada analisis faktor dengan SPSS menggunakan perhitungan KMO and Bartlett’s test dan Anti-images matrices dalam jurnal pun dijelaskan bahwa faktor tenaga kerja mempunyai variabel paling banyak, diantaranya tenaga kerja yang terlatih dan mudah dilatih, tenaga kerja dengan upah yang rendah serta adanya hubungan baik antara perusahaan dengan tenaga kerja tersebut. 
   Teori Lokasi Industri (Alfred Weber) ini pada kenyataannya dapat diimplikasikan hingga zaman kekinian. Namun yang perlu diperhatikan, sebuah lokasi industri ditetapkan tidak karena mengandung kedua faktor yang dicanangkan Weber melainkan salah satu saja cukup. Pada penentuan suatu lokasi, jika diperuntukkan untuk kegiatan perindustrian dan mengambil teori klasik Weber sebagai tinjauan teorinya sudah dapat dianalisis hanya dengan satu faktor saja. Dalam konteks ini teori Weber masih dapat ditujukkan dengan dengan berpengaruhnya faktor bahan baku (kemudahan memasok) dan tenaga kerja, sedangan untuk pasar (konsumen) tidak berpengaruh. 
   Namun ternyata, dalam penentuan suatu lokasi industri tidak hanya cukup jika mempertimbangkan teori klasik. Faktor-faktor lain juga berpengaruh, seperti pada studi kasus di atas. Faktor-faktor penentu lokasi industri di Kabupaten Lamongan akan berbeda jika diterapkan di daerah lain dengan lokasi industri yang sama. Faktor-faktor penentu lain diluar teori Weber ditetapkan sesuai dengan kondisi lapangan dari lokasi industri itu sendiri. Pada studi kasus lain, faktor regulasi pemerintah sangat berpengaruh pada penentuan lokasi industri diikuti dengan faktor lingkungan yang berkaitan dengan polusi udara. Untuk mengetahui faktor dan menentukan variabel yang tepat, seorang peneliti harus mengolah data-data yang ada sesuai dengan kondisi fisiknya. Semakin banyak faktor dalam penentuan suatu lokasi industri, menunjukkan semakin berkembangnya teori lokasi industri dari Alfred Weber diimplikasikan.

Contoh kota yang menganut teori Weber selain di atas yaitu Amerika, Jepang, Korea, Dubai








  










  Dapat disimpulkan bahwa Weber mengemukakan teori lokasi industri, yang memiliki prinsip “penentuan lokasi industri ditempatkan di tempat-tempat yang resiko biaya atau biayanya paling murah atau minimal (least cost location)”. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri yaitu Biaya transportasi, Upah tenaga kerja, Dampak aglomerasi dan deaglomerasi. Weber juga menjelaskan mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Deglomerasi adalah suatu kecenderungan perusahaan untuk memilih lokasi usaha yang terpisah dari kelompok lokasi perusahaan lain.
Seperti pada konsepnya berupa segitiga lokasional, Weber menunjukkan bahwa fungsi tujuan adalah meminimalkan biaya transportasi sebagai fungsi dari jarak dan berat barang yang harus diangkut (input dan output). 

Sumber :
https://www.academia.edu/11533169/Critical_Review_pada_Jurnal_Faktor-faktor_Penentu_Lokasi_Sentra_Industri_Penggilingan_Padi_di_Kabupaten_Lamongan_Studi_Kasus_di_Wilayah_Kecamatan_Sukodadi_dan_Kecamatan_Karanggeneng_tahun_2013_ 
http://virgidede.blogspot.co.id/2010/10/teori-lokasi-weber.html
http://geografi-geografi.blogspot.co.id/2010/11/teori-lokasi-industri-pertimbangan.html