By: Rindrasih, Erda
![jktnite.jpg](https://erdha.files.wordpress.com/2008/02/jktnite.jpg?w=323&h=568)
Menurut hasil International Symposium on Planning for Livable Cities di HCMC (Ho Chi Minh City) Vietnam (2006), enam puluh persen penduduk Asia saat ini ternyata hidup di kota. Hanya tinggal empat puluh persen saja hidup di desa. Dengan berbagai atraksinya, kota bagaikan magnet yang menarik banyak migran untuk datang. Kalau boleh saya ingin menggunakan kata “pie”. Kenapa saya pakai pie? Ini bukan karena saya sudah nonton film American Pie, tapi karena bentuk bulat yang dimiliki “pie” mengingatkan saya pada teori Christaller. Di tengah “pie” terdapat kacang, keju, strawbery, atau apa saja yang rasanya jauh lebih manis, namun lengket. Kalau tidak pandai memakannya kadang mulut dan bibir kita bisa clemotan. Apalagi bagi yang giginya sensitif, aduh… makan pie bakal sengsara deh karena manisnya menusuk gigi. Nah, teori Christaller rupanya juga senada dengan “pie” dalam hal keberadaan pusat di tengah tengah lingkaran tersebut. Christaller membuat penggolongan kota dalam bentuk melingkar, dan tengah tengahnya adalah CBD (Central Bussiness District) yang bisa dibilang sangat menjanjikan bagi bisnis dan perkembangannya, namun bisa jadi merupakan sumber dari masalah.
Hampir semua CBD di Asia adalah kota besar. Yang pengen saya obrolkan disini bukan tentang bagaimana kota di CBD terbentuk dan system ekonomi didalamnya. Namun, lebih kepada seberapa mampu kota menyediakan tempat yang livable untuk masyarakat. Apa itu livable? Untuk yang ini saya juga masih mencari padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia. Kalau langsung kita terjemahkan sih artinya bisa jadi “bisa dihuni”, “layak huni”, “layak tinggal”, dll. Tapi bisa jadi kita pinjam kata “ramah”, atau “viviable”.
Issue tentang “kota ramah” atau livable cities mulai mengemuka ketika civil society menyadari kebutuhan akan sebuah lingkungan tempat tinggal yang layak. Di barat ide tentang livable cities telah lama diasosikan dengan pencapaian manusia dalam semua hubungan sosial, pembangunan ekonomi dan jalannya pemerintahan. Kota merupakan pusat dari kehidupan sosial dan inovasi teknologi, sumber dari peningkatan pendapatan perkapita, dan pusat dari ekspresi demokrasi. Menurut Douglass (2006), city sebenarnya berasal dari kata ‘civil society’ yang akarnya adalah “civitas” dan “citizen”. Kota mengalami proses modernisasi seiring dengan berjalannya perkembangan civil society. Salah satu tokoh yang cukup penting dalam proses modernisasi kota di Barat adalah Ebenezer Howard, dimana dia menemukan konsep “garden city”. Garden city nya Howard mencoba menggabungkan antara kota dan desa di dalam masyarakat. Dia adalah salah satu pendorong bagi munculnya konsep konsep kota baru sesudahnya, seperti misalnya Frank Lloyd Wright, yang mencetuskan ide broadacres, ada pula Le Corbusier yang membuat perhitungan geometrical kota bahwa apapun yang ada di kota harus diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan alokasi, sampai akhirnya muncullah konsep livable cities.
Saya tergelitik untuk mencari tau apakah kota kota di Indonesia merupakan kota yang layak huni dan ramah? Secara international memang tidak ada parameter khusus untuk menilai sebuah kota layak huni atau tidak, setidaknya sampai sekarang. World Bank rupanya juga tak mau kalah untuk mengambil bagian dari isu ini. World Bank kemudian membuat serangkain indikator untuk mengukur kota, yaitu melalui ukuran; pelayanan kebutuhan dasar (air, sanitasi, dll), lingkungan kota yang sehat, dan kecukupan kebutuhan keuangan. Menurut professorku, indikator yang disajikan oleh World Bank ini ada yang kurang, yaitu pada sisi sosial, menurutnya kehidupan sosial juga merupakan factor penting dalam menentukan kota layak huni atau tidak.
Teringat saya akan sebuah film “Aeon Fox”. Kurang yakin juga sih judulnya. Yang saya ingat, film ini mengkisahkan tentang sebuah kota utopian yang dibangun di tengah tengah kesengsaraan diluarnya. Kota ini dikelilingi tembok sangat tinggi yang membatasi kehidupan masyarakat di dalam tembok dan di luar tembok. Tak ada seorangpun yang berani keluar bahkan mendekat di tembok. Mereka mengikuti dogma bahwa kehidupan di luar tembok adalah kehidupan yang kasar, mengerikan dan uncivilise. Kota ini di kuasai oleh sebuah rezim yang kekal karena mereka terus melalukan proses regenerasi sel buatan dengan teknologi yang sangat canggih. Kebutuhan makan dan minum di kota dipenuhi oleh laboratorium yang khusus mengolah bahan makanan khusus untuk masyarakat. Jumlah penduduk di kontrol ketat. Bayi yang lahir di kota itu haruslah menggantikan penduduk yang mati. Mereka menyimpan DNA penduduk yang telah meninggal yang kemudian diproses untuk menjadi bayi dan disuntikkan ke ibu yang ingin memiliki anak. Sehingga hak untuk memiliki anak sangat diatur oleh rezim. Namun, yang terjadi masyarakat mengalami kesakitan psikologis dan kematian jiwa, karena manusia di dalamnya tidak berganti. Mereka lahir, meninggal kemudian dilahirkan lagi, kemudian meninggal lagi dan dilahirkan lagi, begitulah seterusnya. Rasanya kota semacam itu yang akan muncul jika kita hanya terus menggunakan indikator fisik semata dalam menilai livable cities.
Kembali kepada pembicaraan tentang Livable cities, saya cukup heran ketika melihat hasil analisis dari sebuah Jurnal terbitan Singapore University Press, Jones & Douglass (2007), ternyata Jakarta merupakan kota yang paling livable di bandingkan HCMC, Manila, dan Bangkok. Indikator yang digunakan focus pada: lifeword, personal wellbeing dan environment well being. Bolehlah kita sendikit bangga tentang hasil penelitian ini, namun perlu juga kita lihat penggunaan datanya dan relativitas dalam analysis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar